Kamis, 27 Maret 2014

Penuhi dan Pulihkan Hak-hak Korban Diskriminasi dan Kekerasan Agama



Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan
(Sobat KBB)


PEMENUHAN NEGARA ATAS KEBENARAN, KEADILAN DAN PEMULIHAN HAK-HAK PARA KORBAN DISKRIMINASI DAN KEKERASAN YANG MENGATASNAMAKAN AGAMA


Presiden SBY sepanjang dua periode kepemimpinannya gagal melindungi hak-hak dan kebebasan beragama dan berkepercayaan warga negaranya. Fakta ini mendorong para korban yang mengalami diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dari berbagai wilayah di Indonesia yang tergabung dalam Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) menggelar forum perumusan Rencana Strategis (Renstra) 23 – 26 Maret 2013.

Bertepatan dengan tahun politik ini Renstra Sobat KBB berhasil mengkonsolidasikan simpul-simpul para korban yang tujuannya tidak saja mengingatkan para peserta Pemilu 2014 agar membangun komitmennya menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dan kebebasan beragama dan berkepercayaan (berkeyakinan), tetapi juga meneguhkan tekad para korban untuk secara aktif berjuang dalam rentang tiga tahun ke depan bersama-sama mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara melalui advokasi (litigasi dan non litigasi), baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Dengan beberapa lembaga pendamping, Sobat KBB – yang dirampas hak-hak dan kebebasannya sebagai warga negara untuk menganut dan mengekspresikan keyakinan atau paham keagamaan yang berbeda; beribadah dan mendirikan rumah ibadah; dan menganut kepercayaan agama lokal – bertekad bergandengan tangan menuntut: 

  1. Negara bertanggung jawab segera menghentikan praktik diskriminasi dan kekerasan atas nama agama; 
  2. Negara menegakkan hukum terhadap para pelaku tindak diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, baik dari kelompok-kelompok intoleran maupun aparat negara; 
  3. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak para korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan sesuai konstitusi dan prinsip-prinsip HAM tentang kebebasan beragama dan berkepercayaan atau berkeyakinan; 
  4. Para korban membangun solidaritas dan soliditas untuk menguatkan dirinya sendiri berjuang baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional dalam mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasan konstitusionalnya sebagai warga negara untuk beragama dan berkepercayaan; beribadah dan mendirikan rumah ibadah; dan menganut atau berkepercayaan agama-agama lokal leluhur bangsa; 
  5. Masyarakat bersama-sama media massa menciptakan pemahaman, sikap dan tindakan saling menghormati dan bekerjasama di tengah kebhinnekaan bangsa dalam konteks beragama dan berkepercayaan; 
  6. Sesama anak bangsa berkomitmen menghindari permusuhan dan saling curiga untuk membangun masa depan Indonesia sebagai rumah bersama yang toleran, penuh penghargaan dan damai bagi seluruh perbedaan agama dan kepercayaan atau keyakinan. 

Jakarta, 27 Maret 2014 Koordinator Nasional Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (SobatKBB)

Konferensi Pers dihadiri wakil-wakil para korban: 
Pembakaran dan larangan pendirian masjid di Batuplat dan Bakunase Kupang, NTT 
Penyesatan, penyerangan dan pengusiran Yayasan Dayah Al-Mujahadah (pesantren), Aceh 
Penyegelan dan penutupan 16 gereja Aceh Singkil 
Pembakaran dan penyegelan gereja Katholik di Praya, NTB 
Penyerangan FPI terhadap gereja HKBP Binjai dan larangan mendirikannya, Sumatera Utara 
Penyerangan dan pengusiran Syiah Sampang, Jawa Timur 
Diskriminasi dan perampasan hak-hak berkepercayaan agama lokal Kaharingan, Kalimantan Tengah 
Diskriminasi dan perampasan hak-hak berkepercayaan agama lokal Parmalim, Medan 
Diskriminasi dan perampasan hak-hak berkepercayaan agama lokal Sedulur Sikep, Kudus, Jawa Tengah 
Diskriminasi dan perampasan hak-hak berkepercayaan agama lokal Sunda Wiwitan, Kuningan & Bandung 
Diskriminasi dan perampasan hak-hak berkepercayaan agama lokal Sapta Darma, Yogyakarta 
Pengusiran dan penyerangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Transito, Lombok NTB 
Penyerangan terhadap Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta 
Penyerangan peringatan Asyura Makassar, Sulawesi Selatan 
Penyegelan GKI Yasmin Bogor 
Penyegelan HKBP Filadelfia Bekasi 
Badan Kejasama Organisasi Kepercayaan (BKOK) Bekasi

Senin, 24 Maret 2014

Tokoh Muslim Pimpin Pembangunan Gereja di Batam

Di antara sekian banyak kisah berseliweran soal intoleransi beragama di negara ini, selalu ada kisah yang berbeda dan menumbuhkan harapan akan kebaikan manusia.

Salah satu kisah yang membesarkan hati itu nyata dalam kehidupan warga asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hidup sebagai perantau di Kota Batam, Kepulauan Riau. Kebiasaan hidup rukun di kampung halaman mereka bawa hingga ke tanah rantau.

Ya, jemaat Kristen dan umat Islam bahu-membahu dalam pembangunan gedung kebaktian Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Effata, yang berlokasi di Kelurahan Sei Binti, Kecamatan Sagulung, Batam, Kepulauan Riau.

Pembangunan gedung Gereja Effata dikerjakan secara bergotong-royong oleh masyarakat bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh agama Islam, Kristen, dan Katolik di Sei Binti. Mereka digerakkan oleh Rajab Fukalang. Dia seorang penganut Islam dan merupakan tokoh masyarakat perantau asal NTT diKelurahan Sei Binti. Dia berasal dari Wolwal, Alor Barat Daya, NTT.

Ditemui belum lama ini di kediamannya yang hanya berjarak beberapa meter dari Gereja Effata, Rajab menuturkan, awalnya dia bersama warga Kampung Sei Binti, baik Islam maupun Kristen, bergotong-royong membangun Mushola Nurul Haq. Setelah mushola berdiri, Rajab mengumpulkan warga di kediamannya, lalu menyampaikan kepada mereka: “Kita sudah punya mushola, tapi masih kurang satu.“

Rajab yang menjadi “kepala tukang” dalam pembangunan itu menuturkan, setiap tahun warga Sagulung, baik yang Kristen maupun Islam, biasa merayakan Natal yang mereka sebut “Natal Kebersamaan”. Acara ini digagas oleh pemuda Kristen dan pemuda masjid. Tiap kali perayaan, mereka harus mendirikan tenda untuk menampung warga yang hadir. Tapi mereka kesulitan manakala turun hujan saat perayaan berlangsung. Maka timbullah niat untuk mendirikan sebuah gedung serbaguna. Namun, Rajab kemudian berpikir, daripada mendirikan gedung serbaguna, lebih baik mendirikan gedung gereja sekalian. Niat mereka ternyata sejalan dengan rencana Ketua Majelis Jemaat GMIT Ekklesia Batam, Pdt Iwan J Lay, STh bersama tua-tua jemaat. Rencana mendirikan gedung kebaktian itu untuk melayani jemaat asal NTT yang bermukim di Sagulung dan sekitarnya.

Mengapa Rajab yang seorang muslim mau berlelah-lelah mendirikan sebuah gedung kebaktian bagi umat Kristen? “Kita bawa kebiasaan dari NTT, yakni hidup berdampingan secara damai, tidak membeda-bedakan antara Islam dan Kristen,” ujar Rajab. “Apalagi, saya salut sama Pendeta yang juga tidak membeda-bedakan, mampu merangkul kami semua dengan melakukan pendekatan secara kekeluargaan,” lanjut dia.

“Memang, kita sebagai orang yang dituakan, harus bisa memikirkan kebaikan bersama agar ke depan tidak muncul masalah antarsesama saudara. Sebagai sesama anak perantau, kita harus bersatu,” imbuh Rajab yang juga ikut terlibat dalam pembangunan gedung kebaktian Jemaat GMIT Ekklesia di Batam Centre.

Sebelum memulai pembangunan gedung kebaktian di Sagulung, Rajab bersama Pdt Iwan dan tua-tua jemaat Ekklesia mengundang sejumlah tokoh muslim maupun warga muslim di kampung tersebut. “Kami kumpulkan para tokoh dan warga muslim untuk bicara dari hati ke hati. Semuanya setuju, sehingga kita langsung bergerak,”tutur Rajab.

Warga dan jemaat GMIT Ekklesia Batam mengumpulkan dana untuk membeli lahan di sisi kiri kediaman Rajab. Lahan yang sebelumnya dikelola Abraham Monokoi itu ditebus sebesar Rp 3 juta. Kemudian warga dan jemaat menyumbangkan bahan bangunan yang semuanya ditumpuk di depan rumah Rajab.

“Tidak pakai rencana macam-macam, tidak ada panitia pembangunan, tidak pakai rapat-rapat, pokoknya apa yang bisa dikerjakan, langsung saja kami kerjakan. Hampir setiap hari kami bekerja. Kadang-kadang anak-anak sudah mulai kerja baru istri saya telepon majelis untuk datang, siapkan konsumsi bagi anak-anak yang bekerja,” tutur Rajab yang sejak masih di Alor terbiasa aktif dalam pembangunan gedung gereja.

Kegiatan memasak untuk konsumsi warga yang bergotong-royong dilakukan di rumah Rajab dipimpin istrinya, Yuli. Yuli yang keturunan Jawa-Sunda itu pun tak pernah mengeluh, bahkan sangat bersemangat membantu pembangunan gedung kebaktian yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah mereka.

Setelah seluruh dinding selesai dibangun dan siap diatap, baru mereka membentuk panitia pembangunan. “Tinggal pembuatan atap, baru kami panitia pembangunan dibentuk dan mulai ada rapat-rapat,” ujar Rajab yang juga dipercaya mengerjakan kap untuk atap gereja. “Sebelum pasang kap, saya minta Bapa Lamek Fanfut untuk berdoa,” imbuh dia. Lamek Fanfut adalah majelis jemaat Pos Pelayanan Effata, Sagulung.

Pembangunan gedung kebaktian hanya berlangsung selama satu bulan, yakni 10 November 2012 – 10 Desember 2012. “Kita kebut, karena kami sudah bertekad, perayaan Natal Kebersamaan tahun 2012 sudah harus berlangsung dalam gereja,” ujar Rajab.

Setelah dinding keliling gedung kebaktian berdiri, barulah dilakukan ibadah peletakan batu pertama. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 27 Oktober 2102 oleh mantan Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt DR Eben Nuban Timo, STh. “Kami memang sengaja menyisakan sedikit bagian di depan untuk prosesi peletakan batu pertama. Jadi Pak Eben melakukan peletakan batu pertama di situ,” tutur Rajab. “Waktu peletakan batu pertama, Pak Eben bilang, ‘inilah keturunan Ismail membangun gereja untuk keturunan Isakh,” imbuh Rajab.

Rajab menyatakan dirinya sangat gembira setelah pembangunan gereja selesai dan jemaat bisa berbakti setiap hari Minggu maupun hari-hari besar lainnya. “Ini gereja kami bangun sama-sama. Kalau dia bagus maka itu menjadi kebaikan kita bersama. Kalau dia jelek, itu kejelekan kita bersama,” ujarnya.

Rajab juga mengajak pemuda-pemudi Kristen asal NTT yang bermukim di wilayah Batu Aji dan sekitarnya agar bergabung ke Pos Pelayanan Effata. “Saya ajak mereka untuk bergabung ke sini. Sekarang hampir semua sudah bergabung dengan GMIT,” ujar Rajab. (*)

Sumber: http://satutimor.com/2014/02/21/tokoh-muslim-pimpin-pembangunan-gereja-di-batam/

Minggu, 02 Maret 2014

Stop pemanfaatan Isu Agama untuk Kepentingan Politik di Aceh

KontraS [Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan] mengecam tindakan Faisal [Calon legislatif DPRK dari Partai Nasional Aceh], bersama Zhaimar [Kepala Desa Ujung Karang], dan beberapa warga, termasuk Kapolsek Sawang yang bertindak telah melanggar hukum terhadap Tgk Barmawi dan santrinya di Pesantren Al-Mujahadah, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan.

Berdasarkan laporan yang kami terima, pada 22 Februari 2014, sekitar pukul 23.30 wib, Faisal, Zhaimar, dan sekitar 10 warga mendatangi Pesantren Al Mujahadah. Faisal tanpa izin pemilik pesantren mengambil dokumentasi [foto] pengajian para santri, menyita kitab, dan menginterogasi para santri yang sedang melakukan pengajian. Faisal juga ingin memukul salah seorang santri bernama Zulhaqqi Rizal. Mustafa [Kapolsek Sawang] yang berada di lokasi kejadian membiarkan tindakan Faisal. Bahkan diduga kuat Kapolsek Sawang ikut melakukan intimidasi terhadap santri dan mencatat nama-nama para santri.

Senin, 24 Februari 2014

Di Ranah Minang Gereja Dilarang Didirikan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang beberapa kurun waktu terakhir cukup banyak menerima pengaduan dari kaum minoritas yang meminta bantuan dalam mencari keadilan pemenuhan hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya persoalan izin mendirikan bangunan.

Bersama dengan Komnas HAM Sumbar, LBH Padang melakukan berbagai upaya, mulai dari investigasi hingga mediasi dengan pemerintah. Namun lagi-lagi apa yang dilakukan terkendala, seperti perkara aktivitas Gereja Bethel Indonesia cabang Bukit Tinggi. Sejak LBH dan Komnas HAM mendatangi Walikota Bukit Tinggi, melakukan mediasi serta rekomendasi untuk mencari solusi konkrit dan memberikan kebebasan hak beragama kaum minoritas, hingga kini sama sekali tidak ada jawaban dan tindak lanjut lebih jauh.

“Kebebasan beragama merupakan hal pokok bagi setiap warga negara Indonesia, dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Vino Oktavia, Direktur LBH Padang.

Selasa, 18 Februari 2014

Rumah Ibadah Sulit Didirikan, Jenazah bukan Islam Dilarang Dimakamkan

Disambangi di kantornya, Pendeta Sampur Manullang menjelaskan bahwa saat ini jumlah jemaat HKBP yang tersebar di beberapa daerah di Sumbar sekitar 8.500 jemaat. Rinciannya kota Padang sebanyak 4.500 jemaat, Bukit Tinggi 2.000, Pasaman Barat 1.000 dan Pasaman Timur 1.000 jemaat. Sedangkan untuk jumlah keseluruhan rumah ibadah sebanyak enam buah antara lain berlokasi di Padang, Solok, Sawahlunto, Kebun teh di kawasan Gunung Talang Solok, dan Incasi Raya. Kesemua rumah ibadah yang ada berstatus hak guna pakai, bukan milik jemaat sepenuhnya. Hanya Bukit Tinggi satu-satu nya yang merupakan milik jemaat HKBP sepenuhnya. “Jika suatu saat rumah ibadah yang statusnya dipinjamkan kepada kita diambil alih lagi oleh pihak terkait seperti milik perusahaan dan TNI, ya otomatis kita pasti akan kelabakan dan kehilangan rumah ibadah tempat kita melakukan ritual keagamaan,” ujarnya.

Gubernur Jamin Kebebasan Beragama di Aceh

Pemerintah Aceh menjamin kebebasan beragama, kerukunan antarumat beragama, dan tidak ada diskriminasi terhadap agama apapun di Aceh. Pelaksanaan Syariat Islam menjunjung tinggi dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, memastikan hal itu dalam pertemuan di Jakarta, Selasa (18/2) malam. Pertemuan tersebut difasilitasi pengamat politik nasional Sugeng Sarjadi, yang diangkat sebagai penasehat Gubernur bidang politik.

Gubernur mengatakan, saat ini di Aceh terdapat ratusan rumah ibadah non muslim di seluruh Aceh, yaitu 154 gereja, 14 vihara, 2 klenteng.

Selasa, 28 Januari 2014

Warga Parmalim Terpaksa Pilih Islam atau Kristen

Sudah 69 tahun lamanya Indonesia merdeka; sudah selama itu pula Undang-Undang Dasar kita menjamin kebebasan beragama; tapi sampai kini masih ada kelompok warga yang belum diberi kemerdekaan sepenuhnya dalam urusan agama. Satu dari sekian kelompok itu ialah para penganut Ugamo Malim — lebih dikenal sebagai Parmalim — yang oleh pemerintah tidak diakui sebagai agama resmi, melainkan aliran kepercayaan.

Memang mereka bebas menjalankan ritual agamanya. Namun saat berhadapan dengan aparat pemerintahan, mereka tidak merdeka. Contohnya saat mengurus surat-surat kependudukan, mereka terpaksa memilih agama lain — biasanya Islam atau Protestan. Tentu tak terbayangkan betapa sakitnya batin mereka karena harus membohongi nurani sebagai pengikut Parmalim.

Senin, 27 Januari 2014

Bermula dari lapangan bola, berujung pada tuduhan sesat

Di Desa Ujong Kareung Kecamatan Sawang Aceh Selatan, tepatnya diseberang markas militer Kompi Senapan C Yonif 115/ML, sebuah rumah tingkat dua yang belum selesai direnovasi berdiri. Didepan pagar rumah tersebut sebuah pamflet bertuliskan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memutuskan ajaran Tgk Ahmad Barmawi sesat dan menyesatkan tertancap.

Rumah yang dulu ramai didatangi para santri untuk belajar Islam kini mulai sepi. Bersama seorang teman, saya mencoba memberanikan diri mengunjungi si empunya rumah. Saat memasuki rumah tersebut, kami disambut oleh seorang laki laki berbaju koko bewarna krem. Laki laki berkulit hitam manis dan berjenggot tipis itu adalah Tgk Ahmad Barmawi. Beliau mempersilahkan kami masuk kerumahnya. Didalam rumah, ada seorang wanita yang sedang mengayun seorang balita sambil menjaga seorang anak kecil yang sedang sakit. Di sudut lainnya terlihat tiga orang santri Tgk Barmawi.

Mari Mengenal Ajaran Parmalim (Sipelebegu)

Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama Guru Somaliang Pardede (Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat dekat dengan Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut beberapa penulis Barat, ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya oleh dua orang pemimpin perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan tujuan untuk melindungi kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari pengaruh Kristen, Islam, dan kolonialis Belanda (Sidjabat 1983:326).

Minggu, 26 Januari 2014

Arogansi razia penegakan syariah

Fs (30Th) dan Ys (29Th) adalah sepasang suami istri. Fs adalah pegawai BUMN sedangkan Ys adalah guru di sebuah Taman kanak kanak yang ada di kota Banda Aceh. Saat saya temui dirumahnya, Ys sedang menggosok pakaian sedangkan suaminya baru saja selesai membersihkan rumput di halaman rumahnya.

Kepada saya Ys bercerita (14/9/2013) bahwa pada tahun 2010 ia bersama suaminya hendak pergi berolah raga sore di lapangan Blang Padang Banda Aceh. Namun saat dalam perjalanan, tepatnya didepan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ia terkena razia penegakan syariah islam. Priittttttttt....suara pluit di tiupkan oleh salah seorang Polisi Syariah. Polisi tersebut kira kira berumur 40 tahunan dengan sedikit kumis dan jenggot.

Sabtu, 25 Januari 2014

Di Aceh Timur, Celana dan kaki perempuan 18 Tahun dikoyak dengan Pisau oleh oknum Keuchik

Zuraidah (18 th) adalah seorang gadis pendiam tamatan SMP. Penduduk kampung Tualang Idi Rayeuk Aceh Timur ini terlihat gelisah saat kami datangin. Jilbab biru yang melekat dikepalanya tak mampu menyembunyikan rasa takutnya. Rasa takutnya itu muncul akibat trauma atas kejadian yang dialaminya 21 Desember 2013 Silam.

Saat itu malam minggu, ia diajak seorang temannya kepasar malam didekat kampungnya. Mereka berdua berjalan kaki menuju lokasi, Namun dalam perjalanan temannya mengajaknya ia singgah diDesa Seuneubok Rambong.

Jumat, 24 Januari 2014

Ketika Kebebasan Beribadah menjadi terancam.

Nico Tarigan (38 Thn), berkulit putih adalah Ketua Yayasan Suara Kebenaran Internasional yang juga pastor dari Gereja Bethel Indonesia Sumatera Utara. Baru dua bulan menikah ia meninggalkan isterinya,hatinya tergerak untuk membantu Aceh ketika melihat dampak dari musibah Tsunami 24 Desember 2004. Saat itu sang isteri merelakan suaminya meninggalkannya demi sesuatu perbuatan yang mulia. Dua minggu setelah tsunami ia menuju Aceh. Kota tujuan utamanya adalah Banda Aceh. Banda Aceh adalah ibukota provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun perbedaan keyakinan itu tidak membuatnya surut untuk tidak membantu 

“Tuhan sangat menghormati Kemanusiaan, Tuhan akan hadir bersama kita ketika kita peduli pada kemanusiaan” Ujarnya

Di Banda Aceh ia melakukan kerja kerja kemanusiaan khususnya untuk para penyandang cacat dan pada saat emergency 3000 sak beras bantuan yang berasal dari Taiwan juga disalurkan kepada masyarakat korban tsunami.

Kamis, 23 Januari 2014

Ketika Pengeras Suara Masjid Berakibat Mudharat

Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas adalah seorang kakek yang berumur 75 tahun. Saat Banda Aceh diterjang tsunami yang sangat dahsyat pada 2004, ia kehilangan istri tercintanya. Sejak saat itu, ia tinggal hanya bersama seorang anaknya. Rumahnya berada sekitar 10 meter dari masjid Al Muchsinin, Gampong Jawa, Kecamatan Kutara Raja, Banda Aceh. Tahun 2010, di usia yang sudah senja itu, ia mengalami sakit jantung koroner. Dokter menyarankan ia untuk banyak istirahat.

Demi kesehatannya, ia mengikuti saran dokter. Saat bulan ramadhan, pengeras suara masjid sangat keras volumenya dan hal itu membuat dia menjadi sulit tidur. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya sesaat, tapi pengeras suara itu ternyata terus hidup dari menjelang shalat taraweh hingga pukul 4 dini hari. Dan hal itu terus berlangsung selama bulan Ramadhan.

Rabu, 22 Januari 2014

Terusir Dari Kampung Karna Dituduh Pengikut Aliran Sesat

Ataleb Hanafi (35 tahun) adalah seorang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Ia mempunyai seorang isteri dan dua orang anak. Anak pertamanya sekarang sudah SMP, sementara anak keduanya baru berumur dua tahun. Ia adalah penduduk asli Desa Plimbang Bireun. Rumahnya 300 meter dari rumah Tgk. Ayyub. Saat peristiwa penyerangan Tgk. Ayyub oleh massa yang menganggap dia mengajarkan aliran sesat, Ataleb sedang mengambil air bersih dirumah Tgk. Ayyub.

“Setiap maghrib, saya mengambil air bersih di rumah Tengku, karena kondisi air bersih di rumah saya tidak bagus,” ujarnya.

Selasa, 21 Januari 2014

Tetes air mata janda korban tuduhan sesat

Wardiah, perempuan muda itu sedang mengasuh anaknya yang paling kecil saat ditemui, di sebuah kampung yang masih dipenuhi hutan belantara, di daerah Aceh Besar. Bersama ketiga anaknya, saat ini ia tinggal menumpang di rumah abangnya. Sudah tujuh bulan ia menetap di desa tersebut.

Namun, sesekali ia menitikkan air matanya, ketika anaknya yang berusia dua tahun memanggil abangnya dengan panggilan ayah. “Dia tidak tahu, itu adalah abang dari ibunya. Dia mengira itu ayahnya,” kata Wardiah sambil mengusap air matanya.

Senin, 20 Januari 2014

Wakil Walikota Banda Aceh halalkan darah para orang yang pengikut aliran sesat

Wakil Walikota Banda Aceh halalkan darah para orang yang pengikut aliran sesat. hal ini disampaikan beliau pada aksi demonstrasi yang diikuti walikota dan wakil walikota Banda Aceh di gedung DPR Aceh

Intoleransi, Berarti Melawan Perintah Tuhan

Kondisi keberagamaan di Aceh akhir-akhir ini tercoreng oleh sekelompok masyarakat yang enggan menerima perbedaan. Disisi lain, Pemerintah yang seharusnya menjadi perisai bagi kenyamanan dan keamanan segenap warganya. sayangnya kini tak lagi mampu menjawabnya dengan bijaksana dan adil.


Tak jarang bahkan Pemerintah, berikut aparat dan komponennya, ‘berselingkuh’ dengan para kelompok intoleran dan melakukan tindakan diskriminasi kepada kelompok minoritas tertentu.


Tentu hal ini sangat miris ketika sekelompok orang intoleran memaksa kelompok lainnya untuk menjadi seragam, padahal jelas – jelas Tuhan sangat menghargai perbedaan.

“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang di muka bumi, tanpa kecuali. Apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka menjadi beriman ? Tiadalah seseorang beriman melainkan dengan izin Allah….” demikian pernyataan Tuhan dalam salah satu ayatnya (Q.S. 10 : 99-100).

Ayat itu sangat jelas pesannya bahwa tuhan sangat menghargai perbedaan. Semestinya sebagai manusia yang memanusiakan manusia kita harus memulai membiasakan diri menghargai perbedaan. Mengapa ? Karena perbedaan adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Perbedaan adalah kehendak dan pilihan Tuhan.

Selain itu pada Al-Quran Surah Yunus : 40-41 juga makin memperjelas perintah tuhan pada kita tentang perbedaan.

“Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”.

“Bagiku pekerjaanku bagi kamu pekerjaan kamu”, bahwa Islam sangat menghargai perbedaan-perbedaan diantara manusia, karena masing-masing punya hak. Dan tidak boleh memaksakan orang lain .Yakni biarlah kita berpisah secara baik-baik dan masing-masing akan dinilai Allah serta diberi balasan dan ganjaran yang sesuai.

Itu adalah contoh perbedaan pada tingkat keyakinan. Sedangkan pada perbedaan yang lebih konkret lagi ? Tentu, prinsipnya tidak akan jauh berbeda. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan itu harus ada ? Karena itulah yang menjadi dasar adanya alam semesta, termasuk diri kita sebagai manusia. Perbedaan telah ada sejak pada tingkat mikro, yaitu unsur pembentuk seluruh materi alam semesta, termasuk diri kita.

Bayangkan, andai seluruh unsur materi itu semuanya sama, maka semesta ini hanyalah berupa hamparan luas energi semata yang tak berbentuk apapun. Tidak akan pernah ada, yang namanya bintang, matahari, planet, bumi, bulan, air, udara, tanah, dan tidak akan pernah ada diri kita sebagai manusia.

Tuhan pun menghendaki adanya perbedaan. Pada tingkat mikro atomik, lahirlah partikel berbeda yang kita kenal dengan proton dan elektron sebagai unsur pembentuk dasar adanya atom yang berbeda-beda, seperti Carbon, Hidrogen, Oksigen, Aurum, Uranium, dan lain-lain. Dari rangkaian atom inilah, kemudian muncul adanya molekul sebagai zat unsur pembentuk materi, yang bersifat benda fisik. Ada yang berupa benda padat, cair atau gas. Dan, dari unsur-unsur yang berbeda inilah, kehidupan itu terbentuk, antara lain berupa tumbuhan, hewan dan diri kita sebagai manusia.

“Tuhan menciptakan seluruh isi alam semesta ini dari zat yang satu, kemudian berkembanglah menjadi sekian banyak perbedaan…”

Perbedaan adalah sebuah kenyataan, dan inilah pilihan Tuhan. Karena ada perbedaan, maka ada kehidupan. Maka, hargailah perbedaan. Karena, hal itu berarti kita menghargai kehidupan. Termasuk pula, berarti kita menghargai atas kehidupan diri kita sendiri.

Maka, mari kita wujudkan peradaban, dimana manusia saling mencintai, saling mengerti dan saling menghidupi. Karena persaudaraan kemanusiaan merupakan puncak dari persaudaraan. (doy)

Razia Syariat Kok Main Pukul

BANDA ACEH | ACEHKITA.tv — Razia gabungan yang dilakukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh pada Jumat (20/7) dinihari sempat diwarnai aksi pemukulan dan pelecehan. Insiden itu terjadi saat petugas menggerebek sebuah rumah sewaan di kawasan Seutui, Banda Aceh. [Maimun/ACEHKITA.tv]

Minggu, 19 Januari 2014

Suasana Perayaan Tahun Baru 2014 di Banda Aceh

Pemerintah Kota Banda Aceh Melarang warganya merayakan Tahun Baru 2014. 150 Polisi Syariah diturunkan untuk mencegah perayaan tersebut 1/1/2014. Namun warga tidak mengubris, perlawanan terhadap pengekangan hak sipil tetap berlangsung. Ledakan kembang api sebagai simbol perlawanan tetap menghiasi kota banda Aceh. satu orang masyarakat di tangkap, tepuk tangan masyarakat tanda penghormatan kepada sang pembakar kembang ap i bergemuruh

Penyerangan Pesantren yang dituduh Aliran Sesat di Aceh [tv one]

Penyerangan Pesantren Aliran Sesat di Aceh