Senin, 27 Januari 2014

Bermula dari lapangan bola, berujung pada tuduhan sesat

Di Desa Ujong Kareung Kecamatan Sawang Aceh Selatan, tepatnya diseberang markas militer Kompi Senapan C Yonif 115/ML, sebuah rumah tingkat dua yang belum selesai direnovasi berdiri. Didepan pagar rumah tersebut sebuah pamflet bertuliskan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memutuskan ajaran Tgk Ahmad Barmawi sesat dan menyesatkan tertancap.

Rumah yang dulu ramai didatangi para santri untuk belajar Islam kini mulai sepi. Bersama seorang teman, saya mencoba memberanikan diri mengunjungi si empunya rumah. Saat memasuki rumah tersebut, kami disambut oleh seorang laki laki berbaju koko bewarna krem. Laki laki berkulit hitam manis dan berjenggot tipis itu adalah Tgk Ahmad Barmawi. Beliau mempersilahkan kami masuk kerumahnya. Didalam rumah, ada seorang wanita yang sedang mengayun seorang balita sambil menjaga seorang anak kecil yang sedang sakit. Di sudut lainnya terlihat tiga orang santri Tgk Barmawi.
Kamipun menceritakan maksud kedatangan kami. Dengan senang hati beliau menceritakan apa yang dialaminya, agar ini bisa menjadi pembelajaran dan hal yang serupa tidak terjadi lagi pada orang lain. Kepada kami ia bertutur tentang kehidupannya.

Tgk Ahmad Barmawi, kelahiran 3 Agustus 1973, ia mempunyai seorang istri dan 3 orang anak. Anak pertamanya adalah seorang perempuan yang sudah duduk di kelas 4 Sekolah Dasar, anak keduanya yang laki-laki masih sekolah di taman kanak-kanak, sementara si bungsu berumur tiga belas bulan. 

Beliau adalah Pimpinan Yayasan Al-Mujahadah, sedangkan Ayahnya Tgk Muhammad Salim adalah seorang Tengku khatib di Desa Ujong Kareung dan juga pimpinan dari Dayah Al-Mujahadah tempat ia tinggal. Sementara itu, abang iparnya adalah Keuchik di desa tersebut.

Tgk Ahmad Barmawi juga merupakan orang yang dihormati di desanya serta di Aceh Selatan. Ia di hormati bukan karena pejabat, namun dihormati karena pemahaman agamanya yang baik. 

Selama 9 tahun ia mengajar dan berdakwah tentang Islam, selain itu ia juga mengajar ngaji dan mengobati orang orang sakit. 

Rumah tingkat dua yang belum selesai direnovasi ini adalah tempat dimana ia tinggal dan mengajar agama Islam. Di belakang rumah tersebut terdapat kamar-kamar papan tempat 40 orang santrinya tinggal. Meskipun jumlah santri yang menginap relatif sedikit untuk ukuran dayah, namun kalau yang belajar Islam, berguru dan menjadi pengikutnya mencapai ribuan. Pengikutnya pun terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan biasa, polisi, militer maupun pejabat daerah. Bahkan salah seorang bupati di Aceh Besar pernah menjadi santrinya. Ibaratnya sebuah pohon, semakin tinggi tumbuhnya pohon, maka semakin kencang angin menerpanya. Begitu juga dengan Dayah Al-Mujahadah. Ramainya orang yang belajar disitu, tentunya juga berakibat terjadinya persaingan antar dayah. Kecemburuan sosial ekonomipun terjadi, namun itu merupakan hal yang wajar dalam sebuah kehidupan.

Persoalan mulai muncul ketika permasalahan tanah dan tokoh pemuda Kampung mencuat. Saat itu pemilik tanah ingin menjual tanah yang berada tepat disamping rumah Tgk Ahmad Barmawi. Tanah itu merupakan tempat masyarakat biasanya bermain bola. Awalnya pemilik tanah ingin menjual tanah tersebut kedesa, namun pihak perangkat desa tak mampu membelinya. Karena desa tak mampu membeli, Tgk Barmawi berembuk dan berdiskusi dengan para santrinya. Hasil diskusi memutuskan bahwa pihak dayah akan membeli tanah tersebut dengan cara mengumpulkan uang dari setiap santri. Teungku pun menawari si empunya tanah dengan harga permeter 100 ribu. Alasannya, mereka ingin membangun dan memperluas dayah. Siempunyapun menyetujui harga tersebut, namun dengan syarat benar benar untuk membangun dayah. Akhirnya Tgk Barmawi membeli tanah seluas 520 Meter dari uang sumbangan para santri.

Saat tanah telah dibeli, Tgk Barmawi berniat membangun pagar agar bola tidak masuk ketempatnya. Mendengar kabar tersebut, Keuchik yang kebetulan abang iparnya bersama Tokoh pemuda mendatanginya. Mereka meminta agar Teungku menunda pembangunan pagar, karena lapangan itu akan digunakan untuk kejuaraan sepakbola selama sebulan. Permintaan itupun diterima oleh Teungku. Empat bulan berselang, tepatnya tiga bulan setelah kejuaraan sepakbola usai, Tgk Barmawi dipanggil ayahnya. Ayahnya berkata, “ Anakku, ayo kita bangun kembali pagar tersebut, karena kita membeli tanah itu untuk membangun dayah“. Mendengar ucapan sang ayah, Tgk Barmawi mendatangi Keuchik untuk membicarakan rencana pembangunan kembali pagar tersebut. Lalu, Keuchik mengatakan, “Tunggu dulu, kita rapatkan dulu sama masyarakat”. Mendengar jawaban Keuchik, ia sebenarnya merasa aneh, karena itu tanahnya mengapa harus dirapatkan di desa, gumamnya dalam hati. Namun ia membuang jauh-jauh pikiran tidak baik tersebut. Saat malam tiba, rapat pun dimulai. Rapatnya terasa semakin aneh, ketika pemimpin rapat bertanya kepada peserta, “apakah kalian setuju membangun pagar? “. Namun saat itu semua orang diam dan tidak menjawab pertanyaan itu hingga rapat ditutup.

Esoknya, kebetulan hari minggu. Teungku bersama para santri bergotong royong membangun pagar. Tanpa diduga seorang Tokoh pemuda bersama ratusan pemuda mendatangi dan merusak pagar tersebut. Saat itu santri Teungku berjumlah lebih banyak dari para perusak. Takut terjadi hal yang tak diinginkan, Teungku melarang santrinya untuk bereaksi dan membiarkan mereka merusak. Usai pengrusakan terjadi, sore itu juga Tgk melapor kejadian itu pada Keuchik. Selaku pemimpin desa Keuchik meminta maaf atas perilaku yang tidak menyenangkan tersebut. Dengan lapang dada Teungku memaafkannya, dan kemudian menyuruh santrinya untuk memperbaiki pagar tersebut. Saat malam tiba, tepatnya sehabis Shalat Isya, ratusan massa dengan jumlah yang lebih banyak dari kejadian sebelumnya mendatangi rumah Tgk Barmawi. Banyaknya massa yang datang karena adanya pengumuman di meunasah yang memberitahukan bahwa siapa yang tidak ikut dalam aksi tersebut akan dikeluarkan dari kampung Ujong Kareung. Tokoh pemuda yang mengaku mengatasnamakan orang tua kampung, memerintahkan para santri Tgk Ahmad Barmawi yang bukan berasal dari Ujong Kareung untuk keluar dari kampung. Alasannya mereka tidak pernah melapor kepada kampung. Tentu ini menjadi sangat aneh, karena setiap bulan ramadhan para santrinya sering menjadi imam di meunasah-meunasah yang ada di Ujong Kareung. Namun ketika pemikirannya hendak disampaikan kepada tokoh pemuda yang saat ini telah menjadi keuchik, sang tokohpun memotong pembicaraan Tengku Bar. Ia menolak setiap alasan dan tak perlu ada klarifikasi. “Para santri harus keluar dari kampung 1x24 jam”, ujar Tokoh pemuda tersebut.

Tgk Ahmad Barmawi mulai gelisah, iapun melapor ke Mapolsek Sawang. Kapolsek dan anggotanya tiba, kemudian menanyakan pada orang tua kampung mengenai perihal pengusiran itu. Mendengar jawaban orang tua kampung yang tidak pernah mengatakan hal tersebut, dan juga tidak menyetujui sikap Tokoh pemuda, Kapolsek meminta Tgk Barmawi melapor ke Polres Aceh Selatan. Ini dilakukan agar menjadi pembelajaran kedepan kelak. Beliaupun bersama Kapolsek melaporkan kasus pengrusakan dan pengusiran. Namun untuk kasus pengrusakan tidak ada bukti, ini disebabkan karena lokasi kejadian telah diperbaiki. Namun Tokoh pemuda terbukti dalam kasus pengusiran, akhirnya Tokoh pemuda tersebut dijadikan tersangka oleh kepolisian.

Mendengar ia ditetapkan sebagai tersangka, Tokoh pemuda meminta bantuan pak Keuchik. Ia berharap agar Tgk Barmawi memaafkan dan mencabut laporannya. Bersama Keuchik iapun pergi menuju rumah Tgk Bar untuk meminta maaf. Dengan rasa iba, Tgk Bar kembali memaafkan beliau. Tgk Bar segera mencabut tuntutannya, dengan harapan tidak ada masalah lagi kelak dikemudian hari.


Tgk Barmawi sedang menjadi Imam Shalat Zuhur

Namun apa yang diharapkan Tgk tak terjadi. Sejak peristiwa tersebut, fitnah-fitnah padanya mulai menyebar. Tuduhan sesat mulai terdengar. Beliau dituduh tidak pernah sembahyang, sering semedi dikubangan dengan darah ayam potong dan berbagai isu lainnya. Sebenarnya Tgk Barmawi mengetahui siapa yang menyebarkan isu tersebut, namun beliau hanya mendiamkan dan tidak mau membuat keributan, dengan harapan suatu saat orang tersebut menyadari tindakannya. Namun harapan tinggal harapan, hingga pada suatu hari tiada angin tiada hujan, tiba tiba sebuah media online membuat berita bahwa Tgk Ahmad Barmawi dan ajarannya adalah sesat.

Tentu saja Teungku tidak menerima begitu saja. Iapun merasa si pembuat berita tidak melaksanakan etika jurnalistik. Beliau menghubungi wartawan tersebut dan bertanya kepada wartawan mengenai berita yang ditulisnya. Salah satu pertanyaan Tgk Barmawi adalah mengapa ia menulis berita tanpa keterangan dan sumber yang berimbang. Sang wartawanpun meminta maaf karena telah membuat berita yang tidak berimbang. Ia juga mengatakan, bahwa dirinya hanya menulis ucapan Wakil ketua MPU Aceh Selatan yang disampaikan padanya. Mendengar informasi tersebut, Tgk Barmawi mencoba mengklarifikasi itu kepada Ketua MPU dan Wakil Ketua MPU. Beliau mengundang mereka untuk hadir kerumahnya. Namun pengurus MPU tersebut tak mau hadir. Kemudian, Teungku melalui para santrinya mencoba mendatangi Ketua MPU di kantornya. Tetapi selalu dikatakan tidak ada ditempat. Tgk Bar memutuskan agar santrinya mendatangi rumah Ketua MPU di Labuhan Haji Aceh Selatan. 

Akhirnya sang Ketua MPU pun ditemukan dirumahnya. Para santri mengundang Ketua MPU untuk hadir kerumah/Dayah Tgk Barmawi besok hari, agar semua persoalan menjadi jelas. Ketua MPU pun berjanji akan datang.

Esoknya sepulang kerja, Ketua MPU mendatangi rumah Tgk Barmawi. Namun iapun juga seakan lepas tangan dan mengatakan tidak tahu perihal ucapan anak buahnya. Bahkan ia secara langsung mengatakan kepada Teungku Barmawi bahwa Teungku Barmawi tidak menyebarkan ajaran sesat. Firasat Tgk Barmawi merasa bahwa Ketua MPU berkata lain. Ada kebohongan yang tersirat dari mimik wajah Ketua MPU, namun beliau segera membuang pikiran su”uzon tersebut.

Masalah belum juga selesai, namun isu sesat itu semakin keras terdengar. MPU Aceh Selatan kemudian mengundang Tgk Barmawi untuk hadir. Namun Tgk Barmawi tidak bersedia hadir karena kecewa dengan MPU Aceh Selatan. Begitupun, untuk menghormati undangan MPU, iapun mengirim santrinya ke Tapaktuan. Selain itu, MPU Aceh Selatan juga mengundang MPU Aceh agar hadir ke Aceh Selatan. 

Rombongan MPU Aceh pun hadir ke Aceh Selatan. Namun mereka tidak mengunjungi rumah Tgk Barmawi seperti hari yang dijanjikan. Tgk. Bar sempat kecewa, sebenarnya ia ingin MPU segera datang agar permasalahan ini selesai. Baru kesokan harinya rumahnya di datangi MPU. Ketika MPU tiba ia menyambutnya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa teungku-teungku tidak langsung datang kerumah saya kemarin?”. Rombongan MPU menjawab, “kami tidak pergi kemana mana, hanya langsung datang ketempat untuk menjaga kenetralan. Hati teungku merasa kecewa dengan ucapan itu. Ia tahu bahwa rombongan MPU Aceh menginap dan mengadakan rapat disebuah hotel di Aceh Selatan. Sebelum diskusi dimulai, ia menawarkan rombongan MPU untuk meminum dan memakan kue yang telah disajikan beliau. Ini sebagai tanda penghormatan pada tamu yang mengunjungi rumahnya. Rombongan MPU mengatakan bahwa mereka semuanya sedang menjalankan ibadah puasa sunnah. Teungku merasa itu bukan alasan sebenarnya. Firasatnya berkata mungkin mereka takut makanannya dihipnotis. Kenapa harus takut, toh kalaupun memang benar, para ulama pemerintah itu juga akan dilindungi oleh Allah SWT, gumamnya dalam hati. Namun ia tidak berkata seperti apa yang ada dalam pikirannya. Ia hanya berkata dengan nada sedikit menyindir para ulama pemerintah itu, “bukannya didalam hadist ada sebuah anjuran kepada para tamu yang berpuasa sunnah untuk membuka puasanya sebagai tanda menghormati yang empunya rumah “. Namun pertanyaan itu tidak dijawab. Diskusipun akhirnya dimulai, setiap pertanyaan dijawabnya dengan baik hingga pertemuan itu selesai.

Beberapa minggu kemudian setelah pertemuan itu. Sepucuk surat dari MPU Aceh pun tiba dirumahnya. Dalam surat itu, MPU meminta agar pimpinan dayah untuk hadir ke Banda Aceh. Tgk Bar menolak untuk hadir, karena ia bukanlah pimpinan dayah. Pimpinan dayah adalah ayahnya, sementara ia adalah ketua yayasan.

Tgk Barmawi membalas surat tersebut dan menolak hadir. Dalam surat itu beliau menuliskan bahwa ia menolak hadir karena ia bukan pimpinan dayah. Tgk Bar hanyalah ketua yayasan, namun kalaupun MPU memanggilnya sebagai pimpinan yayasan, maka beliau juga tak akan hadir, karena itu bukan wewenang MPU. Urusan yayasan ada dibawah wewenang Kesbanglinmaspol.

Hingga suatu hari, tepatnya Kamis 28 Februari 2013. MPU Aceh mengeluarkan fatwa sesat. Fatwa ini dibacakan oleh Kepala Sekretariat MPU Aceh, Saifuddin Puteh SE MM di Hotel Kuala Radja Banda Aceh.

Tgk Ahmad Barmawi merasa dizalimi. Ada sebuah kekuatan besar yang bersekutu untuk menjatuhkannya. Apa yang dituduhkan padanya adalah perbuatan keji dan fitnah. Ia merasa MPU Aceh mendapatkan informasi dari orang yang merasa tidak suka padanya. 

Bagaiamana mungkin ia dikatakan tidak pernah sembahyang, padahal selama ini ia selalu sembahyang berjamaah dan terkadang menjadi imam di mesjid. Setiap bulan Ramadhan bahkan para santrinya sering didaulat menjadi imam di meunasah-meunasah. Bukan itu saja, banyak para santrinya yang telah mendirikan dayah-dayah di Aceh Selatan dan menjadi panutan masyarakat.

Paska fatwa MPU Aceh, Unsur Muspida Aceh Selatan, MPU Aceh Selatan dan Dinas Syariah pun memasang pamflet bertuliskan Ajaran Tgk Ahmad Barmawi ini sesat menyesatkan didepan rumahnya.

Pondok tempat santrinya menginap dibakar oleh OTK

Kehidupannya mulai berubah. Kegiatan pengajian ditiadakan, para pengikutnya yang tinggal dirumahnya diusir dari kampung. Anaknya yang masih kelas 4 SD selalu menangis ketika pulang kerumah. Anaknya diejekin oleh teman teman sekolahnya. Ini berlangsung selama berbulan bulan. Begitu juga dengan isterinya. Semua tetangga selalu menghindar ketika bertemu dengannya. Bukan itu saja, terorpun sering terjadi padanya. Rumah tempat para santrinya tinggalpun dibakar. Diawal teror yang dialaminya, ia pernah melapor kejadian itu kepada polisi. Namun polisi hanya menindak=lanjuti laporan tersebut dengan memasang garis polisi. Dinding pagar rumahnya juga pernah dirobohin oleh OTK. Seperti biasa laporannya hanya sampai pada catatan laporan saja. Namun ketika teror saluran airnya dipotong, iapun tak mau lagi melapor kepolisi, karena tahu hasilnyapun akan sia sia. Tak ada satu laporannya yang terungkap.

Tgk Barmawi juga pernah melapor kasusnya ke Komnas HAM. Berdasarkan laporan itu, Komnas HAM pun melakukan investigasi. Bahkan Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, MPU Aceh dan Kapolres Aceh Selatan agar pamphlet aliran sesat dicabut dan proses penegakan hukum harus dilaksanakan. Namun, rekomendasi Komnas HAM belum ditindak lanjuti oleh pihak yang berwenang. Sehingga kasus yang dialaminya belum juga tuntas hingga sekarang.

Hidupnya semakin rumit ketika unsur unsur kepengurusan Kampung pun telah berubah. Masyarakat dilarang mengundang dan mengajak Tgk Barmawi untuk hadir di setiap acara, baik acara kampung maupun acara keluarga Tgk Barmawi. Jika ada yang tidak mengindahkan perintah itu, maka rumah yang membuat acara tidak akan didatangi oleh unsur pengurus kampung. Bukan itu saja, Tgk.Bar dan keluarganya dilarang masuk ke Mesjid. Teungku Ahmad Barmawi kini tidak bisa mencari nafkah lagi, namun Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Setiap keperluan hidupnya ditanggung oleh para para santrinya yang bertebaran di berbagai tempat. Kehidupan seperti itu berlangsung hingga 2013 berakhir.Barulah pada tahun 2014 kehidupannya mulai perlahan lahan berubah. Ini dimulai ketika masyarakat mulai kehilangan tokoh yang selama ini menjadi panutan mereka. Masyarakat mulai tidak percaya dengan pengurus kampung. Satu persatu mulai terbuka. Selama ini masyarakat ternyata hanya terpaksa menjauhi Teungku Barmawi. Fitnah-fitnah ini disusun oleh mereka mereka yang tak suka dengan Tgk Barmawi dan beberapa pimpinan dayah yang merasa tersaingi dengan beliau. Tgk Barmawi mulai dibolehkan Sembahyang dimesjid, masyarakat mulai mengundangnya dalam acara. Bahkan unsur kepengurasan desa yang barupun sering mengajaknya dalam kegiatan rapat. Ini karena Tgk Barmawi lebih mau didengar masyarakat dibandingkan mereka.

Masyarakatpun mulai menyuruh Tgk Barmawi untuk mencabut pamflet bertuliskan sesat itu. Namun ia tak mau melakukannya. Ia hanya berharap siapa yang memasang maka merekalah yang menurunkannya. Tapi secara ilmu keagamaan, jika ia berharap yang mencabut adalah orang yang memasang, maka itu sama saja akan mempermalukan orang tersebut. Akhirnya Teungku membiarkan pamflet itu berdiri didepan rumahnya hingga lapuk termakan debu. Beliau berharap kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi psada orang lain. Selain itu para ulama dan pemimpin kelak semestinya menjadi penengah bukan berprilaku memihak. Sehingga Pemimpin dan ulama, kembali menjadi tempat mengadu warga yang mengalami masalah. Teungku Ahmad Barmawi juga berharap masyarakat jangan melakukan kekerasan atas mengatasnamakan agama.(mau belajar)

Tulisan ini saya tulis bedasarkan wawancara langsung dengan Tgk Bar dan tidak menggunakan etika both side kepada orang-orang yang disebut dalam tulisan ini. Untuk memastikan kevalidan ada baiknya pembaca mencari tahu sendiri kisah tersebut agar terlihat lebih berimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar