Jumat, 24 Januari 2014

Ketika Kebebasan Beribadah menjadi terancam.

Nico Tarigan (38 Thn), berkulit putih adalah Ketua Yayasan Suara Kebenaran Internasional yang juga pastor dari Gereja Bethel Indonesia Sumatera Utara. Baru dua bulan menikah ia meninggalkan isterinya,hatinya tergerak untuk membantu Aceh ketika melihat dampak dari musibah Tsunami 24 Desember 2004. Saat itu sang isteri merelakan suaminya meninggalkannya demi sesuatu perbuatan yang mulia. Dua minggu setelah tsunami ia menuju Aceh. Kota tujuan utamanya adalah Banda Aceh. Banda Aceh adalah ibukota provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun perbedaan keyakinan itu tidak membuatnya surut untuk tidak membantu 

“Tuhan sangat menghormati Kemanusiaan, Tuhan akan hadir bersama kita ketika kita peduli pada kemanusiaan” Ujarnya

Di Banda Aceh ia melakukan kerja kerja kemanusiaan khususnya untuk para penyandang cacat dan pada saat emergency 3000 sak beras bantuan yang berasal dari Taiwan juga disalurkan kepada masyarakat korban tsunami.
“ Untuk bantuan pada penyandang cacat kami bekerjasama dengan YP3CA milik pak sanusi bekas ketua PMI Aceh ikut membantu menyediakan kaki palsu dan lain lainnya untuk kaum diffable” kata Nico 


Setiap manusia pasti ingin beribadah 

Sebagai seorang pendeta tentunya dia juga mempunyai jamaat yang membutuhkan siraman rohani. Karna itu ia menggunakan toko tempat tinggalnya untuk beribadah. Tokonya terletak di jalan HT Daudsyah No 47 Peunayong Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh. Minggu 17 Juni 2012 sekitar jam 10 pagi sehabis ibadah pertama, beliau keluar untuk sarapan pagi,Sekitar pukul 10.30 kembali untuk melanjutkan ibadah kedua. Dalam perjalanan kembali beliau melihat sekelompok orang yang sedang berkumpul didekat pasar buah peunayong dan juga didepan toko tempat mereka beribadah.

“ Saya mulai curiga dengan mereka, tapi saya meyakinkan diri bahwa mereka tidak ingin menyerang ibadah kami, jadi pintu toko tidak saya gembok “ Ujarnya mengenang kejadian saat itu. 

Hal yang tidak inginkan juga terjadi, massa menyerang dengan beringas teriakan tutup tempat ibadah pukulan balok kayu menghancurkan semua apa yang ada didalam. Suasana sangat mencekam ditambah lagi dengan teriakan tangis para ibu ibu dan anak-anak yang kebetulan saat itu berada disitu. Saat itu jumlah laki laki hanya 15 orang, selebihnya ada sekitar 40 ibu ibu dan 25 orang anak kecil. 

“ Saya ikut bersyukur karna tidak ada korban dari kami yang mengalami luka luka, namun isteri, anak dan saya mengalami trauma “ 

Setelah peristiwa itu anak anaknya takut tidur sendirian, istrinya juga menjadi ketakutan jika mendengar derap langkah orang didalam toko. Sedang beliau sendiri juga diminggu minggu awal selalu merasa curiga jika ketemu orang yang lagi berkelompok kelompok. 

Namun bukan hal itu saja yang dialaminya, Sang Pendeta ini juga menjadi tersangka sejak tempat mereka beribadah diserang oleh massa tak dikenal pada minggu 17/6 2012. Tempat ibadah yang terletak dijalan HT Daudsyah No 47 Peunayong Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh porak poranda dirusak massa. 
Sebagai pendeta gereja bethel Indonesia Nico dikenakan pasal tindak pidana ringan tentang izin keramaian. Dalam pasal Pasal 510 ayat (1) KUHP menyatakan, “Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pegawai negeri yang ditunjuk oleh pembesar itu:
1. Mengadakan pesta umum atau keramaian umum; 
2. Mengadakan pawai di jalan umum.”

“ Saya sempat beradu argument dengan Polisi bahwa yang saya lakukan adalah beribadah bukan pesta umum atau pawai dijalan, mengapa saya dijadikan tersangka” Ujarnya tegas.

Namun hal itu tetap tak berpengaruh, kasusnya tetap bergulir hingga divonis bersalah. Karna tindak pidana ringan ia tidak dipenjara namun harus membayar denda perkara tiga ratus tujuh puluh lima rupiah. Dengan alasan inflasi hakim mengatakan dia harus membayar RP 500.000 rupiah.

Hal yang berbeda dialami oleh para penyerang, mereka tidak dijadikan tersangka. Sepertinya Pemerintah dan pihak kepolisan terkesan berpihak pada kaum mayoritas. Hal ini tampak ketika pemerintah mengundang mereka ke kantor walikota. Pada undangannya tertulis konsultasi, namun mereka dipaksa untuk menandatangani surat yang isinyaharus menutup tempat ibadahnya.

“Kami merasa tertipu, namun karna merasa terintimidasi kami akhirnya sepakat menandatandangi surat tersebut “

Kini kejadian tersebut sudah setahun telah berlalu, untuk beribadah saja mereka terpaksa berpindah pindah dari satu tempat ketempat lainnya. Setiap beribadahpun mereka didatangi pihak intelkam Jamaat yang beribadahpun berkurang mencapai 50 % hal ini disebabkan karna mereka ketakutan.

Padahal konstitusi Negara menjamin bahwa setiap warga Negara berhak untuk beribadah sesuai agamanya masing masing.

Ia berharap suatu saat bahwa setiap orang akan dapat beribadah menurut agamanya masing masing tanpa merasa terancam dan terintimidasi.(doy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar