Selasa, 18 Februari 2014

Rumah Ibadah Sulit Didirikan, Jenazah bukan Islam Dilarang Dimakamkan

Disambangi di kantornya, Pendeta Sampur Manullang menjelaskan bahwa saat ini jumlah jemaat HKBP yang tersebar di beberapa daerah di Sumbar sekitar 8.500 jemaat. Rinciannya kota Padang sebanyak 4.500 jemaat, Bukit Tinggi 2.000, Pasaman Barat 1.000 dan Pasaman Timur 1.000 jemaat. Sedangkan untuk jumlah keseluruhan rumah ibadah sebanyak enam buah antara lain berlokasi di Padang, Solok, Sawahlunto, Kebun teh di kawasan Gunung Talang Solok, dan Incasi Raya. Kesemua rumah ibadah yang ada berstatus hak guna pakai, bukan milik jemaat sepenuhnya. Hanya Bukit Tinggi satu-satu nya yang merupakan milik jemaat HKBP sepenuhnya. “Jika suatu saat rumah ibadah yang statusnya dipinjamkan kepada kita diambil alih lagi oleh pihak terkait seperti milik perusahaan dan TNI, ya otomatis kita pasti akan kelabakan dan kehilangan rumah ibadah tempat kita melakukan ritual keagamaan,” ujarnya.
Dipaparkan Pendeta Sampur Manullang lebih lanjut, kendala pokok dalam pembangunan rumah ibadah bagi jemaatnya terletak pada dukungan masyarakat mayoritas. Rata-rata masyarakat di Sumbar tidak mau menjual lahan miliknya jika mengetahui lahan tersebut akan diperuntukkan untuk pembangunan gereja. Begitupun dengan hal dukungan sesuai dengan ketetapan SKB Menteri yang ada, mayoritas kurang bertoleransi dengan hal ini. “Perkiraan analisa kita, mereka khawatir jika ada gereja di lingkungan tempat tinggal mereka, maka akan ada misi, Misionaris Kristenisasi. Padahal kita hanya ingin beribadat dan menjalankan keyakinan yang kita anut. Bagaimana proses ritual keagamaan dapat berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh fasilitas penunjang, khususnya rumah ibadah?” ia menyesalkan.

Kenyataan yang ada saat ini, Pendeta Sampur Manullang menambahkan, untuk jemaat kita yang berada di kawasan kabupaten Pariaman, Sicincin dan Lubuk Alung, mereka harus terpaksa datang ke kota Padang jika ingin melakukan kegiatan keagamaan. Jarak tempuh yang mereka lalui kurang lebih satu jam perjalanan. Begitupun dengan jemaat yang tersebar di wilayah kabupaten Sijunjung. Mereka harus menempuh jarak dua jam perjalanan ke Sawahlunto untuk beribadah. Kondisi ini juga terjadi terhadap jemaat yang ada di wilayah lain. Akibat minimnya sarana peribadatan, mereka harus terpaksa datang jauh-jauh.
Situasi kondisi seperti ini sudah acap kali dibicarakan kepada pemerintah baik provinsi maupun daerah, namun hasilnya nihil. Pemerintah tetap bersikukuh menyerahkan persoalan pembangunan rumah ibadah ini sesuai dengan ketentuan SKB Menteri. “Lah jika kita saja tidak boleh membeli lahan dan tidak dapat dukungan seperti apa yang tercantum dalam aturan itu, bagaimana syarat akan dapat dilengkapi. Beberapa waktu lalu, Forum Kerukunan Umat Beragama dan Kementrian Agama pusat juga sudah datang mengunjungi kita mencari solusi konkrit atas kondisi yang kita alami. Namun lagi-lagi hingga saat ini, hal itu hanya sebatas wacana. Kita pun tetap berada pada situasi seperti saat ini,” keluh Sampur Manullang.

Diharapkan Pendeta Sampur Manullang, setidaknya pemerintah dapat lebih memperhatikan hak beragama kaum minoritas yang ada. “Ketika kita tidak dapat membeli lahan atau tidak mendapat dukungan dari mayoritas, pemerintahlah seharusnya yang berperan aktif, jangan lantas terbawa arus tatanan budaya yang ada, harus jelas ada solusi buat kita. SKB Menteri itupun dirumuskan kan dilandasi oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh. Namun seperti yang kita lihat kenyataan di lapangan, kaum mayoritaslah yang banyak mengambil peran dari SKB Menteri itu. Mayoritas yang berperan aktif tentang perlu atau tidaknya sebuah rumah ibadah bagi agama minoritas didirikan. Sekali lagi, jangankan membeli lahan untuk pembangunan, untuk dukungan sebanyak enam puluh orang saja susah,” katanya lagi.

Berbeda lagi dengan minoritas Budha. Sudarma, Kepala Vihara yang juga merupakan salah satu anggota dari FKUB Sumbar, menerangkan bahwa selama ini tidak ada persoalan yang terlalu berarti hingga menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Kota Padang menurutnya masih terbilang aman dari konflik keagamaan.
“Memang beberapa waktu lalu sempat terjadi gejolak perihal rencana kita untuk membangun Sekolah bertaraf Nasional dari beberapa oknum tertentu. Alasan mereka, rencana pembangunan sekolah ini sarat muatan misi-misi yang menguntungkan pihak Budha. Walau demikian, konflik kecil ini dapat diselesaikan dengan musyawarah. Bahkan kita mendapatkan izin dari pemerintah. Direktorat yang menangani bidang pendidikan swasta akan memantau lokasi sekolah yang akan dibangun dalam waktu dekat ini,” ujarnya.

Sudarma menambahkan, untuk wilayah Sumbar sendiri kita baru memiliki 4 buah Vihara yang berada di Kota Padang, Padang Panjang, Bukuttinggi, dan Payakumbuh. Ini masih bisa menampung jumlah jemaat yang ada. Hingga saat ini kita belum berencana melakukan penambahan rumah ibadah. Jika nanti di masa akan datang kita membutuhkan Vihara untuk menjalankan ritual keagamaan, maka kita akan mengusulkan kepada pemerintah sesuai dengan prosedur yang ada. Yang jelas kerukunan antar umat beragama di Kota Padang dan Sumbar secara menyeluruh masih cukup baik,” paparnya.

Hal senada disampaikan David Chandra, Calon Kepala Kelenteng See Hin Kiong, kita di sini masih aman-aman saja, tidak ada teror, tekanan maupun masalah dengan warga sekitar. Malahan kita sering memberikan bantuan berupa sembako kepada mayoritas. Bahkan di hari perayaan Imlek beberapa waktu lalu, kita juga mengangkat tema “Marilah Kita Hidup Berdampingan Secara Damai Bersatu di Dalam Tatanan Budaya Leluhur Kita Demi Kemajuan Kota Padang Tercinta”, dengan tujuan mengajak seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan untuk dapat hidup rukun dan damai, jangan ada lagi konflik yang mengatasnamakan agama. Sedangkan untuk persoalan izin pendirian rumah ibadah, David Chandra mengaku bahwa selama ini semua proses dan prosedur yang dilalui lancar-lancar saja, baik dari pemerintah maupun izin warga semua berjalan lancar.

Lain lagi yang dihadapi umat Hindu. Menurut keterangan dari pak Putu, salah satu pengurus pure, hingga saat ini pembangunan pure masih terkendala dengan izin. Dulu di awal tahun 1998 kita sudah mengantongi izin dari warga Pantai Air, lokasi akan dibangunnya pure. Namun ketika malam sebelum pembangunan dilakukan, pemerintah kota Padang tidak memberikan izin pendirian dengan alasan yang kurang jelas. Alhasil pembangunan pun jadi batal. Pasca itu, kita mencoba melobi TNI Angkatan Udara agar dapat memberikan izin hak pakai lahan di kawasan Lanud Tabing. Sebab, di kesatuan AU juga banyak terdapat anggota yang beragama Hindu. Syukur apa yang kita maksudkan dapat diterima dengan baik. Serta merta lahan untuk dijadikan rumah ibadah pure pun diberikan. Pembangunan pure kala itu dimulai dengan menelan anggaran hingga 1 Milyar. Sedangkan untuk arsitektur kita datangkan langsung dari Bali.

Walau sudah diresmikan, keberadaan pure ini tidak pernah di publikasikan. Sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa di Sumbar juga ada pure. Tak hanya itu, akses jalan menuju pure saat ini sangat buruk. Kondisi jalan rusak sehingga kita sedikit kesulitan jika hendak pergi ke pure.

“Selain itu, apabila ada umat Hindu yang meninggal, mereka harus dibawa ke Bali atau Lampung. Karena di Padang kita tidak memiliki lahan untuk proses pemakaman. Kita sangat berharap kepada pemerintah untuk sedikit memperhatikan minoritas. Bagaimanapun kita juga berhak mendapatkan kemudahan dalam menjalankan ritual keagamaan, termasuk memiliki rumah ibadah,” harapnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang beberapa kurun waktu terakhir cukup banyak menerima pengaduan dari kaum minoritas yang meminta bantuan dalam mencari keadilan pemenuhan hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya persoalan izin mendirikan bangunan.

Bersama dengan Komnas HAM Sumbar, LBH Padang melakukan berbagai upaya, mulai dari investigasi hingga mediasi dengan pemerintah. Namun lagi-lagi apa yang dilakukan terkendala, seperti perkara aktivitas Gereja Bethel Indonesia cabang Bukit Tinggi. Sejak LBH dan Komnas HAM mendatangi Walikota Bukit Tinggi, melakukan mediasi serta rekomendasi untuk mencari solusi konkrit dan memberikan kebebasan hak beragama kaum minoritas, hingga kini sama sekali tidak ada jawaban dan tindak lanjut lebih jauh.

“Kebebasan beragama merupakan hal pokok bagi setiap warga negara Indonesia, dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Vino Oktavia, Direktur LBH Padang.

“Pemerintah harus dapat berperan aktif dalam menyelesaikan dan memberikan hak kebebasan beragama kepada kaum minoritas. Sebab pada dasarnya kebebasan beragama merupakan kebebasan untuk memilih dan mengungkapkan keyakinan agama tanpa ditekan atau didiskreditkan. Namun kenyataannya saat ini hal tersebut cenderung ditentukan oleh penilaian subjektif kelompok mayoritas,” tambah Vino Oktavia.

LBH Padang beberapa waktu lalu juga mengeluarkan buku bertajuk Kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi diadili. Buku tersebut menurut Vino Oktavia mengupas seputar persoalan keberagaman yang ada, dimana kondisi kebebasan beragama di Sumatera Barat sendiri sangat berbeda dengan daerah lain.

Konflik yang ada di Sumbar tidak menampakkan wujudnya secara nyata. Atau jika dilihat sepintas, Sumbar seolah-olah minim akan konflik kebebasan beragama, mengingat penduduknya mayoritas muslim. Padahal, kentalnya budaya dalam tatanan kehidupan masyarakat Sumbar turut berpengaruh besar terhadap tata kelola pemerintahan di daerah ini. Hampir seluruh kebijakan dan peraturan daerah yang dilahirkan bernuansa Islam, seperti halnya dengan kewajiban berpakaian muslim, wajib pandai baca Al-Quran bagi siswa atau calon pengantin, wajib Zakat, dan penyakit masyarakat.

“Berdasarkan pemantauan kita, cukup banyak persoalan kebebasan beragamama, berkeyakinan dan berekspresi yang terjadi di Sumbar. Namun hal itu tak terekspos,” imbuhnya.

Tak hanya LBH Padang, Komnas HAM Sumbar juga salah satu lembaga yang cukup banyak menerima laporan. Kasus pendirian rumah ibadah umat Kristen di Sungai Buluh, Pasa Usang tahun 2007, Bukit Tinggi tahun 2009, Pasaman Barat 2012 serta di daerah Solok dan Pessel tahun 2011 merupakan lima dari sekian banyak laporan pengaduan yang masuk ke meja Komnas HAM Sumbar. Namun lagi-lagi kondisinya hanya sebatas investigasi dan rekomendasi kepada pihak pemerintah daerah. Sedangkan tindak lanjut dari itu hingga kini pun sama sekali tidak ada.

Dipaparkan Firdaus, Kasubag pelayanan pengaduan Komnas HAM Sumbar, persoalan kebebasan beragama di Sumbar merupakan persoalan yang sangat sensitif. Ini sangat berbeda dengan hal lain atau konflik lain yang ada. Jangankan tataran masyarakat, bahkan pemerintah pun tak bisa berbuat banyak ketika ada konflik keberagaman. Selain kasus pendirian rumah ibadah, kasus penolakan jabatan publik pada tahun 2009 yang mana pernah ada seorang jaksa dipindah tugaskan ke Kejaksanaan Negeri Pasaman Barat untuk posisi sebagai kepala bagian ditolak keras oleh masyarakat karena ia diketahui bukan berasal dari agama mayoritas. Masih banyak persoalan penolakan seperti ini yang terjadi di Pasaman Barat. Namun tetap saja pemerintah tidak dapat berbuat banyak.

Susahnya membangun rumah ibadah bagi kaum minoritas, selain berimbas pada penyelenggaraan ritual keagamaan juga pada aktivitas jemaah lainnya seperti terlantarnya pendidikan untuk anak-anak. Tahun 2006 di kawasan Muaro Sijunjung terjadi gejolak penolakan berujung pelemparan terhadap rumah milik Keuskupan Padang yang digunakan sebagai tempat pendidikan rohani keagamaan bagi pelajar Katolik.

Kurang lebih sebanyak 99 KK warga Kristen dari semua aliran tinggal dikawasan Muaro Sijunjung. Namun tak ada fasilitas rumah ibadah. Jika mereka hendak melakukan kegiataan keagamaan maka harus pergi ke daerah Sawahlunto dengan jarak kurang lebih 25 Km.

Catatan yang ada di Komnas HAM Sumbar, tahun 2007 juga ada laporan tentang pelarangan dan penolakan pembanguan gedung serba guna di komplek Gereja Kristus Bangkit di kawasan Pasar Usang Kabupaten Padang Pariaman. Karena gereja yang ada tidak dapat menampung aktivitas pendidikan bagi pelajar, maka timbul ide membangun ruang serba guna ini. Ketika hendak mulai pembangunan, muncul ke permukaan penolakan keras dari anak nagari Pasar Usang. Hingga kini pembangunan itu terbengkalai. Komnas HAM Sumbar juga pernah melakukan investigasi lebih lanjut dan memberikan berbagai rekomendasi kesemua instansi yang ada, namun sama sekali tidak direspon, hanya Departemen Dalam Negeri yang merespon dengan meminta Pemerintah Provinsi untuk menindak lanjuti. “Tetap saja hal itu tak mengubah apapun,” imbuh Firdaus.

Begitupun dengan umat Hindu, Komnas HAM Sumbar pernah menerima laporan tentang rumitnya membangun rumah peribadatan. Walaupun tanah sudah ada, namun untuk mendapatkan dukungan serta izin setempat sangat sulit. Tak hanya itu saat ini umat Hindu juga mengalami kesulitan tentang pengurusan pemakaman, “Jika ada yang mati, maka jenazah terpaksa dibawa ke Bali atau di Lampung atau ke daerah asalnya,” ungkap Firdaus.

Baru-baru ini juga ada protes keras dari warga kelurahan Nunang kecamatan Payakumbuh Barat atas adanya rencana pembangunan Vihara Budha Metta di kawasan jalan Luhak Limapuluh Kota. Surat keberatan dan pernyataan sikap penolakan dengan nomor 01/LPM/NN-PBR/II-2012 tertanggal 2 Februari 2012 yang dialamatkan ke walikota dan DPRD Payakumbuh oleh lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan Lunang yang juga ditanda tangani oleh ketua RT, tokoh masyarakat dan beberapa lainnya. Akibatnya, rencana pembangunan Vihara Budha Metta di kawasan itupun gagal. Pemerintah setempat juga menghentikan sementara waktu rencana tersebut dengan berbagai alasan.

Apakah diskriminasi hanya terjadi bagi kaum minoritas di luar agama mayoritas? Tentu tidak. Konflik internal di agama mayoritas pun pernah terjadi di Sumbar. Adanya fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan salah satu aliran sesat dan menyesatkan menyulut sekelompok masyarakat Sumbar yang mengatasnamakan dirinya forum tokoh pembela fatwa mendatangi markas Ahmadiyah yang beralamat di jalan Agus Salim Padang. Mereka meminta dan menuntut Ahmadiyah dibubarkan dan segera angkat kaki dari Sumbar. Persoalan ini pernah dibahas di DPRD Sumbar dengan menghadirkan beberapa perwakilan dari mayoritas dan Ahmadiyah serta Ketua MUI Sumbar. Namun perdebatan alot yang terjadi terkesan menghakimi pimpinan jemaah Ahmadiyah. Otomatis insiden penolakan serta penghakiman terhadap pimpinan Ahmadiyah tersebut berdampak kepada rasa tenang bagi jemaah lain yang ada, “Lah, jangankan untuk persoalan lain seperti membangun rumah ibadah, jika belum apa-apa saja protes keras terjadi,” ungkap Firdaus lagi.

Walau akan banyak mendapatkan tantangan hingga tekanan, Komnas HAM Sumbar akan terus berjuang tentang hak hidup beragama bagi semua lapisan. Karena ini sesuai dengan amanat undang-undang. Walau tak mudah hal itu dilakukan, apalagi di wilayah mayoritas, namun Komnas HAM akan terus berupaya. Selain itu, Komnas HAM juga berharap kepada pemerintah, mulai dari Provinsi hingga Daerah, untuk proaktif memberikan kebebasan beragama dan memperhatikan hak beragama kepada minoritas. Sebab, untuk menjaga toleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan hanya di tatanan Komnas HAM saja, namun mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum hingga semua lapisan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama.(Sumber aliansisumutbersatu.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar